TERSEBUTLAH, disuatu tempat diceritakan ada seorang anak laki-laki yang memiliki perangai buruk, selain suka berselisih dengan teman-teman sebayanya, dia pun tak segan untuk menjahati kawan-kawannya itu.
Akibat kenakalannya itu, ayahnya kerap dibuat gusar dan bermaksud untuk mendidiknya. Diberikannya sekantung penuh paku anaknya itu dan menyuruh memaku satu batang paku di pagar pekarangan rumah setiap kali anaknya itu dia kehilangan kesabarannya atau berselisih paham dengan orang lain.
Hari pertama, dia memaku 26 batang paku di pagar dan pada minggu-minggu berikutnya dia belajar untuk menahan diri sehingga jumlah paku yang dipakainya berkurang dari hari ke hari. Dia pun menjadi sadar, ternyata lebih gampang menahan diri daripada memaku di pagar.
Akhirnya tiba di saat dia sudah tidak perlu lagi memaku sebatang paku pun dan dengan gembira disampaikannya hal itu kepada ayahnya. Sang ayah yang sangat bijak itu, kemudian menyuruhnya untuk kembali mencabuti sebatang paku dari pagar setiap hari bila dia berhasil menahan diri.
Hari demi hari berlalu dan akhirnya tiba waktunya dia bisa menyampaikan kepada ayahnya bahwa semua paku sudah tercabut dari pagar.
Sang ayah lantas membawa anaknya itu ke depan pagar tersebut dan berkata, “Anakku, kamu sudah berlaku baik, tetapi coba lihat betapa banyak lubang yang ada di pagar ini, dan pagar ini tidak akan seperti sedia kala,” ujar sang ayah.
“Apa maksud ini semua ayah,” tanya anak itu penasaran.
“Setiap kamu berselisih paham atau bertengkar dengan orang lain, maka hal itu akan selalu meninggalkan luka seperti halnya pagar ini,” jawab ayahnya.
“Kamu bisa menusukkan pisau di punggung temanmu dan mencabutnya kembali dengan meninggalkan luka. Tak peduli seberapa besar kamu meminta maaf atau menyesalinya, bekas luka itu akan tetap ada,”
“Begitupun dengan ucapanmu. Kamu menyakiti orang lain dengan ucapanmu lantas kau menyesalinya, tetap saja meskipun kamu mencabut kembali kata-katamu itu, namun ucapmu akan selamanya tersimpan jauh dilubuk hatinya,”
Anak itu pun diam termangu, tak sanggup mengeluarkan sepatah kata pun,
“Anakku, hati-hatilah selalu dalam bersikap dan bertutur ucap, jika kau hendak berselisih atau bertengkar dengan orang lain, ingatlah selalu nasib pagar ini, cacat, penuh lubang dan takkan pernah bisa berwujud seperti sedia kala,” tutur ayahnya itu.
izin copy artikel nya mas di blog saya kodeprogram.wordpress.com
BalasHapus